Jakarta sebagai sebuah kota Metropolitan di Indonesia yang nota bene masih berada di peringkat negara yang tengah berkembang di dunia, masih menyimpan ketidaksiapan sebagai sebuah kota metropolitan, meski telah menjadi dambaan dan rangkaian gambar di dalam dada. Jutaan tanda tangan menandai keberadaan manusia di kota ini dengan seribu urusannya. Urbanisme dan isme-isme lainnya menyatu jadi satu. Benturan nilai-nilai sosial dan budaya bermunculan, ketidakmerataan pendidikan dan pengetahuan adalah penyebab berbagai konflik baik yang terlihat mau pun laten.
Masyarakat berada di lapisan transisi, ketidaksepakatan lahir dari berbagai ketidakmengertian. Jurang perbedaan pendapat antara pikiran dan sikap tradisional, primordial serta konvensional menyatu dalam difusi dan konfusi yang menuju pada sikap puritan.
Tetap tak mampu bergerak. Perspektif tak pernah berubah dalam mata batin. Perkembangan kota lebih ditujukan pada kebutuhan fisik. Gedung-gedung kondominium dan apartemen setinggi langit
bertumbuhan di ruang publik Jakarta. Hutan beton berkilau bagai pilar-pilar permata menjulang menusuk langit kota. Ribuan gedung pencakar langit bagai mencengkeram dengan tehnik cakar ayamnya di atas permukaan bumi yang telah ringkih karena resapan air lautnya. Namun, pemahaman dan pengetahuan tentang urusan sosial seperti tak pernah terjangkau dalam pikiran para pangreh dan pamong praja. Para intelektualis berderet bagai sekadar hiasan ornamental di negeri ini. Segala upaya pendekatan intelektual dan spiritual dilakukan di berbagai acara di media massa baik cetak dan elektronik, tetap bagai si bisu di antara manusia tuna rungu. Maka, cap sebagai kota metropolitan ini adalah kota hunian bagi para metro-puritan.
Photo by: Kaye O'Yek
Jakarta as a metropolitan city in Indonesia that memorandum still ranked at the middle of developing countries in the world, still save unpreparedness as a metropolitan city, despite having a yearning and a series of images in the chest. Millions signature mark of human existence in this city with a thousand affairs. Urbanism and other isms fused into one. Conflict of social values and pop culture, inequality of education and knowledge is the cause of various conflicts both look like any latent.Society was in transition layer, the disagreement was born from a variety of ignorance. Opinion gap between thought and traditional attitudes, as well as conventional primordial fused in the diffusion and confusion that led to the puritanical attitude.Fixed unable to move. Perspective never changes in mind's eye. The development of more targeted at the needs physical. Buildings, condominiums and apartments to the skies Jakarta grew in public spaces. Sparkling like a concrete jungle jewel towering pillars stabbing the sky city. Thousands of buildings skyscraper like gripping with claws techniques chicken on the earth's surface that has been frail since seawater infiltration. However, understanding and knowledge of social affairs like never reached in the minds of government and civil service. The intellectualist lined up like a mere ornamental decoration in this country. Every effort is intellectual and spiritual approach performed at various events in the mass media both print and electronic, still like the dumb among deaf people. Thus, the stamp as a metropolitan city is a residential city for metro-puritan.